guru ato ortu yang berhak pukul anak? |
Beberapa waktu yang lalu saya
mendengar cerita tentang kekerasan terhadap anak didik yang dilakukan oleh
guru. Dengan alasan menjaga nama baiknya, saya hanya bisa katakan bahwa
peristiwa ini terjadi di dekat lingkungan tempat tinggal saya. Kasus kekerasan
ini telah masuk dalam ranah hukum dan saya pribadi sangat miris mendengarnya.
Bukan miris karena macam kekerasan guru terhadap anak didik yang berupa cubitan maut sehingga (katanya) menyebabkan
lebam dibeberapa bagian tubuh anak didik, tapi saya miris karena merasa
prihatin bahwa kasus ini sampai masuk dalam ranah hukum.
Saya lebih menempatkan rasa miris
yang saya miliki pada proses hukum yang terjadi ketimbang luka lebam oleh
karena cubitan maut. Bukanlah berarti saya setuju mutlak dengan adanya
kekerasan dalam pendidikan, bahkan sama sekali saya tidak memprioritaskannya[1].
Kekerasan dalam mendidik bisa jadi diperlukan, tapi bukan sebagai pilihan yang
pertama dan utama. Saya hanya memaklumi sikap dari kedua belah pihak, baik guru
yang sepertinya keterlaluan maupun orang tua si murid yang mengadukan kasus ini
ke ranah hukum. Keduanya memiliki argumentasi masing-masing yang mungkin membuat
kita sebagai penonton merasa prihatin.
Sang guru boleh jadi telah
mencapai puncak kesabaran ketika memperlakukan si murid sehingga dia memberikan
cubitan maut. Di sisi lain, walaupun terkesan lebbay, sang orang tua sepertinya
sudah kadung sayang pada sang buah
hati sehingga mengharamkan segala bentuk perlakuan kekerasan sebagai respon terhadap
apapun yang dilakukan oleh anaknya tersebut. Saya secara pribadi bisa memaklumi
keduanya karena memang inilah fakta yang acapkali ditemui di lapangan.
Saya adalah seorang yang belum
lama kecemplung di dunia pendidikan. Saya akui sulit rasanya bagi saya
mengingkari bahwa beberapa siswa yang saya hadapi adalah mengesalkan. Mereka
bisa dikatakan susah diatur dengan sikap mereka yang acapkali memunculkan sikap
arogan, tiada memperhatikan keterangan sebagai seorang yang belajar padahal
mereka belum pintar, menyela dengan waktu yang tidak tepat bahkan dengan
kandungan selaan yang hambar dan sepat, dan lain-lain yang sungguh menempa
kesabaran saya. Namun demikian, Saya pun menyadari bahwa tidak hanya saya saja
yang mengalami hal ini. Hampir seluruh guru merasakan hal yang sama dengan anak
didik mereka masing-masing.
Menjadi seorang guru sepertinya
bukan perkara yang mudah. Sama halnya dengan profesi lainnya, profesi mendidik
dan mengajar memiliki kesulitan tersendiri dan membutuhkan seni tersendiri pula
untuk mengatasi kesulitan unik yang dihadapi. Pengalaman akan banyak
mengajarkan pada penampuk profesi tentang bagaimana menjalankan tugas yang
diemban. Sepertinya, sang guru pencubit maut tak miliki banyak jam terbang yang
menempanya. Dan benar, sama halnya dengan saya, sang guru masih dibilang ranum rasa
asin garam pendidikan dengan usia yang masih berkisar dua puluhan.
Bolehlah sang guru berargumentasi
dengan tingkat kenakalan si murid dan tingkat kesabaran yang telah dilakukannya
sampai akhirnya dia melakukan tindak cubitan maut. Namun permasalahannya adalah
seberapa nakal si manusia yang masih murid belia itu dan seberapa tinggi sih standard
kesabaran yang sang guru miliki sehingga kasusnya sampai mblusak-mblusukprocedural error
yang dia lakukan dalam mendidik si anak? Logikanya, bila dia meletakkan prosedur
yang baik dalam memperlakukan anak didiknya dan dengan kesabaran yang tinggi, tidak
mungkin konsumen (baca: wali murid) dengan mudahnya melaporkan tindak kekerasan
guru pada buah hatinya. Tanpa menghormati intensitas dan bentuk penghormatan
saya pada sang guru, saya menyangsikan sikap, tingkat kesabaran, atau hal lain
yang berkaitan dengan cara dia mendidik. Semoga ini hal ini menjadi pengalaman yang
benar-benar memberi pelajaran. ke ranah hukum? Tidakkah dia bisa menyadari lebih
dini akan adanya
Sikap si orang tua yang
melaporkan ke ranah hukum juga tak bisa saya amini. Sayang anak adalah sebuah kewajiban.
Tapi bila berlebay-lebay sampai membawa kasus macam ini hingga ranah hukum,
bukanlah pikiran bijak yang dimiliki oleh seorang ayah/ibu. Bukankah dia
sendiri yang dahulu menyerahkan anaknya pada sang Guru? Kenapa cara menarik
ucapannya dengan cara yang “menyakitkan” seperti ini? apa hanya ini cara
berterima kasih yang bisa dia lakukan? seandainya tidak puas, paling parah
adalah tetap pada penyelesaian dengan menurunkan ego masing-masing dan cara
kekeluargaan. Setidaknya dia harus ingat pada etika ketimuran dalam hal
keilmuan. Yakni sebuah etika yang menyebutkan ketinggian penghormatan terhadap
sang guru. Terlepas dari macam apa gurunya, tetaplah dia seorang guru yang
berhak menerima penghormatan.
Aaaah, sudahlah. Dengar-dengar masalah
ini sudah ditutup. Semoga ini menjadi pelajaran bagi siapa saja. Bagi guru,
kita harus lebih bisa menempa cara kita dalam mendidik. Bagi pemilik buah hati,
tak usahlah berlebay ria karena bukan anda saja yang tau kelakuan sang anak…. Tapi
juga guru-guru mereka. Mari lakukan bersama-sama.
[1]
Dalam dalil Islam pun dijelaskan tentang memukul anak yang membangkang dari
perintah sholat. Tetapi hal ini boleh dilakukan ketika si anak sudah berumur 10
tahun dan selama tiga tahun sebelumnya secara istiqomah si orang tua
menganjurkannya untuk melakukan sholat. Bukankah dalil ini telah mengajarkan
pada kita untuk tidak serta merta main kekerasan pada anak? Kalopun sudah
terpaksa melakukan pemukulan mendidik, bukankah cerita tentang nabi Ayyub as. yang
memukulkan 100 batang lidi secara bersamaan, daripada memukulkannya satu
persatu, pada istrinya telah mengajarkan pada kita untuk berlaku lemah lembut,
sopan, dan manusiawi bahkan ketika harus melakukan pemukulan?
0 komentar:
Posting Komentar