Senin, 02 Januari 2012

Materai pun Tak Bertaring

meaningless
Baru beberapa waktu yang lalu saya menuliskan tentang kontrak sekolah, yang saya pandang sebagai suatu hal yang menohok dalam mengatasi tradisi putus sekolah, namun saya sudah merasa tidak yakin akan tingkat efektifitasnya.
Benar apa yang dikatakan senior saya melalui komentarnya. Memang cukup sulit menerobos tembok tradisi yang TIDAK menganggap pendidikan sebagai suatu cara memperoleh kebahagiaan. Inilah yang saya pandang sebagai suatu hal penyebab tak efektifnya kontrak sekolah. Selain itu, tingkat kesadaran hukum juga ikut berkontribusi pada ketidakefektifan kontrak sekolah.
 
Sebagus apapun desain kontrak sekolah, namun ketika diterapkan pada masyarakat yang tidak paham benar hukum, maka akan sia-sia. Kontrak sekolah memang memiliki kekuatan di norma hukum dengan adanya materai yang terbubuhkan diatasnya. Bahkan ketika dilanggar, akan menjadi benar bila melakukan penuntutan. Sekarang.... coba bayangkan, siapa yang akan tega menuntut mereka yang sudah tidak bisa lagi melihat buah hatinya menenteng tas sekolah untuk pergi sekolah disetiap pagi hari? Apalagi ketika alasan utama putus sekolahnya adalah masalah ekonomi dan ketidakmampuan orang tua memaksa si anak untuk sekolah (perlu diketahui bahwa kebanyakan orang tua adalah orang yang awam terhadap cara mendidik anak. Mereka pun tak kenal istilah parenting.). Moral berlandaskan konstitusi kata “kasihan” mengambil jatahnya disini.
 
Kini, wacana tentang kontrak sekolah seakan hanya bias saja yang saya ibaratkan laksana harimau kehilangan taring. Sepertinya kami harus memikirkan lebih mendalam lagi tentang cara ampuh mengatasi putus sekolah. Entah dari mana kami akan memulai memikirkannya kembali, saya pun tidak tau. Suasana akademik kah? Motivation building kah? Kesejahteraan ekonomi kah? Entah lah kah... yang jelas, saya beserta kawan-kawan yang lain menyadari bahwa tugas kami bukanlah hanya mengajar, tapi juga mendidik mereka anak bangsa. Ihihihi.... semoga Tuhan kami meridhoi kami, amiin.

*saya menulis ini ketika kami menghadapi dua kasus dari dua murid kami. Nur Kholifah menuju ke bali yang hanya demi sebuah sepeda. Dan Eva yang kini telah bertunangan setelah sebelumnya ber-“kawin colong” ala tradisi gredoan.

1 komentar:

Syafhaeleeya mengatakan...

Sulit memang ketika kita berada dalam suatu kondisi yang sudah menjadi tradisi...perlu waktu lama untuk menyadarkan dan merubahnya...Kontrak sekolah memang bisa di bilang cara yang cukup efektif bagi sebagian besar sekolah (itu yang mengerti taat hukum)tapi disisi lain disaat hukum masih kalah dengan tradisi..terkadang qta harus berfikir lagi cara apa kiranya yang bisa behasil dalam mengentaskan masalh putus sekolah dengan alasan yang sudah "tradisi"