Kamis, 03 November 2011

Ketika Siswa Kami Men-tatto Tubuhnya


Inilah Tatto yang mereka rajah
Senin di awal bulan Oktober 2011…
Pagi ini kami dihadapkan pada tingkah tiga murid yang diluar dugaan kami selaku pendidik di sebuah sekolah anak negeri. Tiga murid mentatto dirinya dengan ramuan alam getah jambu monyet. Gilaaaak….!! Gak mikir tah kalo ntuh merusak masa depannya. Setidaknya, tattoo itu menghalanginya untuk diterima bila ndaftar tentara.
Seperti biasanya, pada pelaksanaan upacara,
guru berada di barisan depan menempatkan diri dibelakang Pembina upacara. Namun beberapa guru dan tenaga pendidik lainnya berada di belakang barisan siswa untuk mengawasi tingkah polah siswa/i selama jalannya upacara. Pada saat inilah, para pendidik bisa mengawasi tindak tanduk siswa secara menyeluruh sebagai bagian dari kegiatan pendidikan. Saya dan beberapa beberapa pendidik yang lain berada di bagian ini. Biasanya, disinilah  saya memeriksa kuku para siswa dan memotongkannya bila terlihat bak kuku macan garong. Seperti layanan pedicure manicure.
Hari itu, pandangan salah seorang dari kami mengarah pada tingkah seorang siswa yang tampak sering meringis seolah-olah menahan sakit yang ada di satu bagian lengannya. Tanpa ragu, seorang pendidik bernama Pak Isdi menghampirinya dan seketika terperangah melihat luka yang ada pada si siswa. Usut punya usut, pak Isdi akhirnya mendapatkan cerita tentang luka tersebut. Ternyata luka itu memang dia buat dengan sengaja sebagai sebuah tattoo. Inipun yang juga dilakukan oleh dua siswa yang lain. Kami pun menggiring para pentatto ke kantor.
Ketiganya kami dudukkan dilantai dan (maaf) terlihat seperti para resedivis yang tertangkap. Seorang diantara mereka tampak meringis menahan sakit. Sebenarnya kami iba. Namun kami benar-benar bingung menghadapi ini. Disatu sisi, ini adalah pelanggaran berbobot (hanya) dua point, dan disisi yang lain, ringikan “aduuh…ssst… aduuuh…” mereka saat ini menyinggung sisi kemanusiaan kami.

 Dua tiga guru datang menghampiri seakan ingin ikut andil dalam penentuan vonis terhadap pelanggaran mereka. Namun akhirnya berbalik arah karena tak bisa menentukan vonisnya. Dua tiga guru lainnya pun datang menghampiri. Namun kesemuanya hanya saling memandang dan bingung terhadap vonis yang tepat untuk mereka.
Tattoo… tujuan utamanya adalah sebuah rajahan atau ukiran yang dipandang apik dipermukaan kulit. Inilah yang mereka inginkan. Bila kami bersikap acuh tak acuh pada pelanggaran ini dan tattoo itu menjadi sebuah karya seni, maka sebuah succeed project buat siswa pelanggar dan itu buruk bagi kami serta dunia pendidikan. Bila itu terjadi, sejarah akan mencatat bahwa kami adalah pendidik yang gagal. Saya secara pribadi tak mau anak cucu saya mendengarkan cerita bahwa eyang buyut Nurish Shufi-nya ini gak bisa atasi pelanggaran ini. Namun bila kami berikan hukuman pada mereka sehingga mereka jera, itu pun akan melipatgandakan rasa sakit mereka saat ini. Ingat, saat ini mereka sedang kesakitan dengan luka tattoo mereka yang terlihat membusuk. Kami tak ingin dan tak boleh menyiksa mereka layaknya maling ayam dicibir orang sekampung.

Mas Roni Jadi tenaga Medis
Sepikir dua pikir, seotak dua otak, akhirnya kami (semacam) sepakat untuk berperan sebagai tenaga medis yang dengan kasih sayangnya membersihkan luka sembari berharap mereka terketuk hatinya dan benar2 menyadari bahwa kami adalah pendidik yang sangat tidak ingin melihat anak didiknya meringis sakit oleh karena kebodohan, kenakalan, keliaran, dan ketidakmengertian mereka. Pak Roni-lah yang waktu itu mengeksekusi luka-luka tatto tersebut dengan (sepertinya) sedikit kasar, yang memang sengaja diberikan agar memunculkan sedikit rasa sakit yang menjerakan mereka. Hal ini seakan-akan membuat saya menyimpulkan, “sedikit menyiksa dengan kasih sayang”. Ahhaha… Alkohol dan rivanol yang disediakan mas Rahmad pun bekerja bersama membersihkan luka-luka tersebut. Beberapa guru termasuk siswa lain enggan melihat darah yang deras menetes. Kapas putih pun merubah warnanya menjadi merah berani. Ahaha… ya Ampuuuun… ada-adaaaa saja…

ngampung nampang
Semoga cerita ini memberikan manfaat bagi pendidik yang mengalami kasus yang sama. Semoga Tuhan memandang sebagai sebuah kebenaran terhadap apa yang kami lakukan. 

3 komentar:

SULISTYARINI mengatakan...

kayaknya lagi trend...muridku bukan cuma tiga yang ditato dengan jambu monyet, tapi 17 siswa laki dan perempeuan yang sementara ini ketangkap.......tangan mereka bertulis dan bergambar macam macam......berborok.Kami tidak tahu ini kemajuan atau kebodohan....kami tidak mengajarkan hal itu di sekolah,tapi mereke membuat tatodi sekolah yang kebetulan depan kelas ada pohon jambu mete......

nurish shufi mengatakan...

wuiiikz.... i am sorry to hear that. 17??? gilaaak??
sepertinya perlu kajian mendalam tentang motivasi mereka lakukan hal tersebut.
tapi kalo boleh melakukan kira2, sepertinya mereka cenderung ingin coba2 dengan pengetahuan baru ttg tatto dari getah monyet. mungkin juga karena mereka ingin mendapatkan perhatian dari orang sekitarnya dengan membikin hal yang tak lumrah pada diri mereka sehingga orang lain tertarik untuk mearuh perhatiannya. menurutmu??

Goyarsp mengatakan...

Apakah dengan tato jambu monyet bisa masuk sekolah smk? Saya ingin mengejar cita cita dengan jurusan TKR (teknik kendaran ringan, mohon bimbinganya agar saya bisa meraih cita sukses.