Kamis, 03 November 2011

(seperti) Ditantang Bergelut oleh Siswa

mereka hanya malaikat yang butuh kasih sayang
Dulu pernah saya mendengar cerita seorang teman tentang kawannya yang ajak gurunya untuk bergumul (berkelahi). Sampai hari kemarin, saya anggap itu hanya cerita yang berkadar 99% benar. Namun, kyakinan itu naik 1% sejak hari kemarin. Saya sendiri mengalaminya.

Saya adalah seorang guru baru disebuah sekolah menengah pertama di pinggiran kota. Sebagian murid kami adalahdari kalangan yang tidak berada, baik secara finansial maupun kasih sayang dalam sebuah keluarga. Sebagai guru baru, saya pun berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan. Saya lakukan dengan segala ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan. Hal ini saya lakukan agar saya bisa diterima dengan baik di lingkungan baru ini. Alhasil,
tanggapan positif saya dapatkan. Ucapan salam dari para siswa disetiap kedatangan saya dipagi hari, sodoran tangan untuk menyalami sang guru baru dari para siswa cecantik sekolah, lemparan senyum manis dari para murid, dan sapaan hangat dari semua warga sekolah yang kesemuanya saya dapatkan dengan gratis.

Namun ada juga pandangan sinis dari beberapa siswa yang sepertinya memandang saya sebagai seorang lain dari pada yang lain dan mencoba menarik perhatian saya dengan sedikit berikan cibiran terhadap setiap gerak langkah saya. Saya balas hal itu dengan senyum manis mengembang. Saya menganggap bahwa cibiran itu adalah bentuk perhatian mereka pada saya. Mungkin mereka masih belum tau bagaimana mengkomunikasikannya pada saya. Ahahaha…

Pagi kemarin saya mendapatkan perlakuan yang diluar prediksi saya. Saya diuji kesabaran dan kedewasaan berpikir saya dengan tingkah seorang siswa laki yang protes ketika hapenya saya sita. Dan peringainya (sewaktu meminta hape utk dikembalikan kepadanya lagi) seolah menantang saya untuk bergumul (berkelahi). Sulit bagi saya ceritakan situasi saat itu dengan bahasa tulis saya. Tapi yang jelas, dia tidak menempatkan diri sebagai seorang murid dihadapan saya. Dia menghalau tangan saya yang coba menghalanginya untuk mengambil si hape dari saku celana kiri saya. Situasi itu mungkin hanya bisa dipahami dengan penuh bila dilakukan reka ulang. Ada sedikit dorongan yang dia berikan, yang saya anggap sebagai ajakan dia untuk bergumul. Sarkasme ocehannya yang dia serangkan pada saya juga ikut membumbui kejadian pagi kemaren. Mungkin dia menganggap saya kecil, sehingga dia melakukan hal tersebut pada saya. Tapi dia lebih kecil lhoooh….

alhamdulillah, saya tidak berlaku seperti ini
Seandainya saya tidak berkeberatan hati, mungkin saya bisa saja menghantamnya dengan bogem mentah yang cukup beralasan untuk dianggap benar. Tapi saya tak melakukan hal tersebut. Yang ada dipikiran saya waktu itu adalah bila saya memukulnya, maka akan membuka jalan bagi kebencian yang mendalam dari seorang murid pada pendidiknya. Ini akan membuat proses pendidikan kepadanya dimasa setelah kejadian itu akan semakin sulit. Kedua, saya menyadari bahwa mungkin ada faktor lain sebelumnya yang membuatnya berperangai seperti ini. Bisa jadi si anak tak memperoleh perhatian dirumah sehingga dia bertingkah laku apapun yang bisa mengundang perhatian warga sekolah. Bisa jadi dia selama ini iri pada saya?? Bisa juga seeeh…

Yang saya lakukan adalah mencoba mengajaknya kepada yang lebih berwenang. Saya mengajaknya keluar kelas untuk menuju kantor dan menyelesaikan persoalannya didepan wakil kepala sekolah. Namun dia tidak menghendaki. Saya mengajaknya dengan alasan: (1) agar sesegera mungkin hal ini tidak menjadi tontonan siswa yang lain. Artinya stabilitas kelas harus saya jaga layaknya presiden menjaga stabilitas keamanan negaranya.. ahahaha… (2) agar saya mendapatkan juri yang benar-benar tepat menilai permasalahan ini. Bisa jadi memang saya yang salah. Ketidakperhatiannya selama pelajaran saya adalah bukan semata-mata karena dia memainkan hape, tapi karena sikapnya yang bersenda gurau sehingga dia beralasan bukunya hilang ketika saya meminta dia menunjukkan pekerjaannnya. (3) ini adalah masalah serius yang menyangkut kredibilitas saya sebagai guru disekolah itu. Lebih jauh, ini adalah masalah harga diri. Hal ini tidak boleh saya hadapi sendiri, betapapun besar rasa marah atau kesal yang saya miliki saat ini. Saya tidak boleh memandangnya dari satu sisi saja sehingga saya melakukan finishing problem dengan sebuah bogem mentah (yang sebenarnya bisa saja saya lakukan dan bisa jadi dianggap benar bahkan ketika hal itu dihadapkan dimeja hijau). Saya berfikir ini adalah ujian bagi kesabaran dan kedewasaan saya. Bila saya tidak gegabah dan berusaha bijak hadapi masalah ini, saya yakin akan mendapat hikmahnya, minimal sebuah pengakuan terhadap kredibilitas saya.

Akhirnya, dua orang rekan guru ikut turun membantu menyelesaikan permasalahan ini. Keduanya memasuki ruang kelas tempat saya mengajar. Mereka meminta si anak untuk menyelesaikannya dengan mereka berdua, tepat setelah kegiatan sekolah dihari kemarin berakhir. Entah apalah yang rekan guru lakukan, saya tak mau tau. Sepertinya mereka dengan bijak menyelesaikannya. Saya sendiri melanjutkan pekerjaan saya mengumpulkan pekerjaan anak2 yang lain yang sempat dikocar-kacirkan  oleh si anak penantang.

Ada hal yang lucu saya temui setelah kejadian itu. Seorang staff/karyawan sekolah menyakan perihal apa yang terjadi, walaupun sebenernya dia sudah tau. Dan saya hanya bilang, “aaah, gak ada apa-apa. Hanya sifat anak kecil saja yang butuh perhatian.” Agaknya dia kecewa dengan penjelasan saya. Dia menyesali dengan sikap saya menghadapi situasi tadi. Dia kecewa dengan sikap saya yang tidak memukul KO si siswa penantang. Lucunya, dia menawarkan diri untuk menjadi eksekutor (tukang bogem) seandainya ada yang berbuat seperti itu lagi. Bahkan dia sempat juga menawarkan diri untuk berikan “pelajaran” pada siswa penantang tadi. Ahahaha.. saya hanya tertawa dalam hati sambil menolaknya dan ucapkan terima kasih. Pikiran saya kali ini sampai pada sebuah cerita tentang Malaikat Jibril yang berkenan menimpukkan gunung pada warga kota Thaif yang mengusir Rasulullah ketika beliau hendak hijrah ke kota tersebut. Karena inilah saya menolaknya. Ahaha… subhanallah… kali ini, saya hanya membalas senyuman Ilahi. Sepertinya Ilahi Rabbi menguji kesabaran dan kedewasaan saya. Entah lulus atau kagak, wallahu a’lam.

Oiya, usut punya usut, ternyata si siswa penantang itu benar-benar dari keluarga “broken home”. Si ayah dan ibu berpisah. Dia tinggal bersama sang ayah yang tidak memiliki kasih sayang setingkat seorang bunda. Parahnya, sang ayah hanya disibukkan dengan duit untuk isi perut mereka. Tak pelak sang anak, yang menurut beberapa warga sekolah, adalah anak yang liar. Bahkan si anak diketahui sebagai peminum alcohol. Oh my God….!!


6 komentar:

Nunk mengatakan...

hhhmmm..,,

kalo menurutQ sih,,kayaknya diselesaikan face 2 face aja,,
si murid kayaknya akan tambah kesel kalo maslahnya dibawa2 ke guru lain,,
buku hilang tu cuma alasan aja,,
dia gak mungkin tuh kayaknya beresin tas sebelum berangkat sekolah..
isi tasnya pasti sama setiap harinya.
ahaaaaa,,
butuh perhatian seorang wanita tuh,,mungkin kalo gurunya cewekk,,,manut kalee ya,,heee..
di kawasan bonowoso tah ris??

nurish shufi mengatakan...

tha yang banyak buat masukannya nunung.

karena daku masih baru, tingkat kehati2annya rada tinggi. jadine daku nglibatkan guru yang lain. mang bisa jadi murid tambah kesal. tapi, setidakne saya telah membuat si anak menjadi target bersama yang harus diselesaikan bersama pula. dalam waktu dekat, saya diharapkan utk face-face bersamanya. sama seperti yang kau sarankan, beberapa guru juga menyarankan hal yang serupa. daku diharap untuk menyanyakan perihal keluarganya.
lebih tepatnya, dia butuh sisi melankolis untuk mengimbangi sisi kekerasan (peritah dengan tensi tingggi) yang sering dia dapatkan dirumahnya.

nurish shufi mengatakan...

bukan di daerah bondowoso. masih didaerah pinggiran jember... ihihi...

Nunk mengatakan...

yuuupppssss..
good luck ya..
moga aja ntar dia bisa andalkan,,
kalo dah manut.,,kan bisa tuh dijadikan kaki tangan,,hehehhehehe

Dini Rosita Sari mengatakan...

Great! I can't believe that is actually happening. I am a primary school teacher and all my students are lovely and adorable. Mungkin itu sebabnya jadi ga bisa bayangin seorang murid 'nantang' gurunya. He He He. Tapi salut buat njenengan yang bisa berpikir sangat demokratis dalam menghadapi situasi tidak mengenakkan tersebut. Tidak mudah lho menjaga emosi, apalagi kita sebagai pihak yang sebenarnya kalau dilihat kasat mata 'lebih berkuasa'. Good job, deh buat njenengan. Btw, lulusan UNEJ?

nurish shufi mengatakan...

thank so much mba'.
yaps, it's really happened. not only you who hardly to believe that, but also my friends when i told them.
i also teach at primary school for just one nice day/week but here (at SMP) i got unexpected thing i had never imagined before..
terserah mbak mau sebut apa, demokratis ato yang lain. tapi sepertine ntuh yang selalu dilatihkan ama umi dan para guru saya selama ini, baik dirumah, sekolah, apalagi di pesantren. masih sulit bagi saya untuk njaga emosi. saking aja pas kesambet malaikat ntuh... ato lagi ingat hadits "la taghdhob" yang ada di salah satu kitab kajian para santri dipesantren manapun.
iyah, UNEJ. samean juga dari Jember kan?? aq sangat familiar dengan namane samean. tapi lupa wlpn berusaha untuk ngingat.