Selasa, 16 Agustus 2011

Acungan Tangan yang Tidak Kita Harapkan

Ketika saya menuliskan tulisan ini, saya baru selesai melaksanakan tugas sebagaimana yang adhik-adhik angkatan saya minta yaitu mengisi sebuah segmen disuatu acara pondok ramadhan sebuah SMP tempat mereka melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL). Disini,
saya bertindak sebagai pemateri yang diminta untuk memberikan wejangan bertema kepemudaan kepada sekitar 120-150an siswa/i yang kesemuanya masih berbau kencur… ihihihiii... (atau setidaknya bau kencur mereka masih lebih menyengat daripada bau kencur saya.). Entah dengan alasan apa adhik-adhik PPL nei memandang saya sehingga saya dirasa pantas untuk jadi pengisi acara diacara mereka. Bagi saya, bukanlah karena saya merasa mampu berwejang-wejang ria dengan baik sehingga saya mau menerima pinangan adhik-adhik PPL. Namun karena PPL merupakan hal yang berkesan bagi saya sehigga saya mau menerima pinangan mereka. Saya banyak menimba ilmu dari pelaksanaan PPL di tahun lalu. Kesan yang mendalam pun juga saya rasakan dikala itu. Dibilang derita, ya bisa saja. Dibilang menyenangkan, ya juga bisa. Tapi yang jelas adalah sebuah kebahagiaan tersendiri ketika saya bisa mengaplikasikan ilmu apapun yang saya miliki, baik itu secara theoretically ataupun practically (*macak fasih pake bahasa bule).  Saya pun tahu kalau mereka, adhik-adhik angkatan yang menempuh PPL, cukup dibikin pusing untuk mempersiapkan acara. Jadi, saya tidak boleh mbikin mereka lebih pusing lagi dengan berlaku enggan membantu mereka. 

Tema kepemudaan yang tersodorkan pada saya mengarahkan logika pikir sederhana saya pada sebuah judul yang mengaitkannya dengan nuansa agamis sebagaimana warna dalam bulan ramadhan ini. Judul ntuh pun berbunyi “aku pantas jadi pemuda muslim”. Pembuatan judul nei tidaklah sesulit pembuatan judul skripsi kok. Ihihi… jadi….dibikin enjoy saja. Harapan saya diakhir pertemuannya adalah para siswa mengetahui tentang tips ala kadarnya yang bisa membuat mereka pantas disebut pemuda muslim (*pematerinya pun kadang juga mempertanyakan tentang kepantasannya menjadi pemuda muslim. ihihihiiiii...).

Berbicara tentang muslim maka akan berkaitan dengan Islam. Dan membicarakan tentang islam, maka tidak akan lepas dari kata sholat. Karena sholat adalah tiang agama (*katanya pak ustadz2ku gitu…), maka pertanyaan pancingan saya diawal acara ini adalah berkutat tentang sholat yang para siswa laksanakan. Saya pun bertanya pada mereka melaui microphone digenggaman, “Siapa yang masih BELUM shalat lima waktu?”, sambil berharap hanya segelintir siswa berjumlah banyak jari di tangan kanan yang mengacungkan tangan. Namun saya sangat terperanjat dengan kenyataan yang saya temui. Hampir semua siswa mengacungkan tangannya pertanda mereka mengakui bahwa mereka benar-benar belum shalat lima waktu, baik itu yang masih bolong satu, dua, atau bahkan tidak sholat sama sekali. Merasa tidak yakin, saya ulangi pertanyaan saya, dan saya tetap dibikin terperanjat dengan banyaknya acungan tangan dari mereka. Saya sempat mengelus-elus dada sambil beristighfar dalam hati (*sok suci) mendapati kenyataan yang baru saya temui. Dalam angan dan pikiran saya pun bertanya, “Separah inikah jumlah tak bersembhayang anak negeri ini?” 

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang saya alami ketika saya dan kawan-kawan saya seusia para siswa ini. Dulu, ketika pertanyaan yang sama terhaturkan pada saya dan kawan-kawan saya atau anak yang seumuran dengan kami, tidak banyak acungan tangan yang muncul. Kalopun memang benar tidak sholat atau bolong sholatnya, kami tidak sevulgar itu mengacungkan tangan. Kami masih merasa malu dengan ketidaksempurnaan sholat yang kami lakukan. Sehingga kami bertekad untuk menyempurnakannya dengan tenggat waktu sampai pertanyaan yang sama muncul dikesempatan selanjutnya. Tapi saat ini, selain jumlahnya yang melejit bak roket kesetanan, acungan-acungan itu muncul tanpa ada rasa malu sedikitpun dari pemiliknya, sehingga menimbulkan kesan bahwa ketidaksempurnaan itu merupakan hal yang wajar. Pertanyaan penyerta pun muncul dibenak saya, “apakah sedemikian hilang rasa malu mereka atas ketidaksempurnaan ibadah mereka?, bukankah rasa malu itu bagian dari iman?? Maka bila tiada lagi rasa itu, apakah berarti iman juga tiada dibenak mereka??”.  

Sepertinya ada yang salah dalam pola pengasuhan dan pendidikan anak kali ini. Polanya telah menghilangkan essensi hidup manusia untuk beribadah pada Allah swt. (*see: wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduun..). Kalaupun tak mau untuk dikatakan hilang, setidaknya essensi itu telah berkurang akibat dari majunya zaman. Entah kesalahan ada dimana, saya pun tak tahu dengan pasti. Yang jelas, mesti kudu ada program yang membuat para siswa melaksanakan kelima sholat disetiap harinya. Entah program pembiasaan, entah program buku penghubung dengan menitikberatkan pada items sholat lima waktu, entah program telpon sejak shubuh seperti program di sebuah Sekolah Dasar maju dikawasan ibukota Jawa Timur, atau program-program lainnya yang sebisa mungkin tidak hanya melibatkan guru dan tenaga pendidik saja tetapi juga melibatkan orang tua siswa bahkan kalau perlu teman-teman sebayanya.

*ucapan terima kasih...
Apa yang saya alami pagi tadi memberikan sisi pandang tersendiri bagi saya terhadap dunia pendidikan kali ini. Pantas saja, seorang dosen memberikan kriteria “…dan dia sholat” pada calon tenaga pengajar yang beliau minta untuk saya usulkan  padanya. Untuk itu, saya haturkan terima kasih sebesar-besarnya atas kepercayaan dan kesempatan yang adhik-adhik PPL berikan kepada saya; thanks to Andik, Nduk Nyun, Nduk Nda, de-el-el. Semoga Allah meridhoi kita untuk sebuah dunia pendidikan yang lebih baik. aamiin....(^_^)! 

0 komentar: