Jumat, 06 Mei 2011

Jangan Skeptis pada Gurumu

Kelihatannya Garang... tapi dia baek kok.
Jangan curiga atau takut pada dosen hanya karena desas-desus stereotype tentangnya. Kadangkala kakak kelas akan berdongeng tentang model, style, karakter maupun reputasi seorang dosen tertentu. Mereka memberikan stereotype tertentu pada dosen tersebut menurut pandangan mereka sendiri. Padahal pandangan tersebut belum tentu 100% benar bahkan kadangkala sangat berkebalikan dengan kenyataan yang ada.
Cerita yang sering kali diberikan adalah bahwa dosen tersebut sulit memberi nilai yang baik pada mahasiswa, dosen tersebut galak, dosen tersebut (bahkan, amit-amit…) centhil, mesum, dan lain-lain. Mahasiswa yang mendengarkan cerita tentang dosen tersebut akan menjadi (semacam) terdoktrin pikirannya terhadap dosen yang bersangkutan. Akibatnya, sebelum mengikuti kegiatan belajar-mengajar dengan dosen yang bersangkutan, seringkali mahasiswa terpengaruh dengan cerita tentang reputasi dosen tersebut. Bahkan lebih parah lagi adalah mahasiswa menjadi enggan mengikuti kelas dosen yang bersangkutan. Biasanya, hal ini berujung pada buruknya prestasi mahasiswa pada mata kuliah yang diajarkan oleh dosen yang bersangkutan. Hal ini seharusnya tidak terjadi.
Saya pernah mengalami hal seperti yang tersebut diatas. Suatu ketika,
saya harus mengikuti matakuliah baru dengan dosen yang baru pada semester yang baru pula. Saya belum pernah diajar oleh dosen yang bersangkutan. Dosen yang mengajar matakuliah tersebut adalah seorang dosen matakuliah umum dan bisa dibilang kalau beliau merupakan salah satu dosen senior di lingkungan universitas tempat saya mengenyam pendidikan. Dan sebagai dosen matakuliah umum, beliau banyak mengajar diberbagai fakultas. Tak ayal kalau banyak mahasiswa yang mengenalnya, bak seorang artis masyhur di sebuah negeri. Semoga Allah memberikan ketentraman bagi beliau.
Namun cerita yang berkembang tentang beliau tidaklah begitu sedap/merdu didengar telinga. Banyak mahasiswa yang telah menempuh kuliahnya bercerita bahwa dosen tersebut “kardi” atau semaunya sendiri, suka memberikan tugas yang banyak dan membebani mahasiswa dengan tugas tersebut. Ada pula yang bilang kalau sang dosen tersebut tidak akan pernah memberikan nilai “A” pada mahasiswanya kecuali jika mahasiswa membeli buku karangannya.  
      Stereotype tentang sang dosen diatas tentunya membuat saya sedikit ”merinding” dalam mengikuti kuliah yang diajarkan oleh dosen bersangkutan. Namun, ketika saya yang teriring waktu untuk mengikuti matakuliahnya, ternyata cerita tersebut tidak sepenuhnya benar. Saya mengetahui sendiri kalau sebenarnya sang dosen tidak seburuk yang dikatakan sebelumnya. Beliau merupakan seorang yang baik dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
Pernah suatu ketika saat kami bersama-sama menguburkan kerabat kami yang meninggal (adik ipar abah kyai saya yang merupakan rekan sang dosen), beliau langsung turun ke liang lahat untuk ikut menyemayamkan jenazah. Padahal waktu itu banyak dari pelayat pengantar jenazah yang entah enggan atau sungkan untuk ikut menurunkan jenazah ke liang lahat. Namun sebaliknya, sang dosen malah memiliki inisiatif sendiri untuk membagi-bagi siapa saja yang berhak untuk turun ke liang lahat. Belum lagi ketika suatu hari saat saya tidak menemukan bangku untuk tempat duduk yang ideal dalam mengikuti perkuliahannya, dikarenakan memang banyaknya mahasiswa yang mengikuti perkuliahan yang diampunya. Sang dosen dengan tanggap menawarkan bangkunya pada saya. Cukuplah hal ini membuktikan bahwa sebenarnya cerita buruk tentang sang dosen tidak serta merta benar. Toh yang perlu disadari adalah bahwa setiap manusia pasti memiliki sisi baik dan sisi buruknya sendiri.
Saya merasa kecolongan dengan ”doktrinisasi” yang menimpa saya tentang beliau. Cerita tentang beliau telah sempat membuat saya skeptis pada sang dosen. Untung saja nilai akhir matakuliah yang ditempuh bersama dosen tersebut sangat memuaskan, nilai A (Hehehe.... alhamdulillaah...). Saya hanya menyadari bahwa ”dongeng” tentang dosen bersangkutan tidak benar dan berpotensi menjadi sebuah perusak bagi semangat kuliah. Akhirnya saya pilih untuk berpositif thinking saja. Bagaimanapun juga dosen tersebut adalah seorang dosen. Dan dalam etika keilmuan, dosen merupakan seorang yang harus dihormati oleh mahasiswanya. Adalah menjadi hak seorang guru untuk dihormati oleh si murid. Setidaknya inilah yang tersebut dalam Grand Educational Book (sebutan ngaco saya untuk kitab Ta’lim al-Muta’allim). Bahkan bukan saja guru (dosen) yang bersangkutan saja yang harus dihormati murid (mahasiswa), tetapi termasuk pula istri/suami juga anak-anak dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan sang guru (dosen). Semoga Allah mencatat saya dan anda dalam golongan orang yang menghormati guru... amiin. 
Dalam kasus seperti ini, saya hanya menganggap bahwa desas-desus tentang stereotype dosen adalah sebuah tantangan tersendiri. Hal inilah yang menjadikan saya lebih berhati-hati dalam bersikap pada sang dosen. Dan ternyata, hal inilah yang menekan saya untuk melaksanakan segala tugas yang diberikan dosen. Dan akhirnya, nilai A bisa diperoleh oleh penulis.
Adanya stereotype-sasi seorang dosen memang tak bisa dielakkan. Dan mahasiswapun acapkali tak bisa mengelak untuk tidak mendengarkan desas-desus yang ada karena hal ini wajar dan lumrah terjadi. Namun, sebenarnya desas-desus ini ada manfaatnya. Desas-desus tentang stereotype dosen tertentu tidak semua salah walaupun tidak semuanya benar. Setidaknya, informasi awal tentang stereotype dosen adalah informasi yang bisa memberikan pertimbangan pada mahasiswa untuk bersikap nantinya. Yang terpenting adalah bagaimana menyikapi “informasi awal” tersebut. Bagaimanapun juga, dosen merupakan seorang yang pernah menjadi mahasiswa. Tentunya dia juga telah merasakan apa yang dirasakan mahasiswa. Dia juga telah memiliki banyak pengalaman dalam pengajaran yang dia lakukan. Ingat...!! “experience is the best teacher” yang berarti bahwa pengalaman merupakan guru yang terbaik. Untuk itu, hormatilah pengalamannya.
Dalam menghadapi adanya desas-desus tersebut, sebaiknya mahasiswa terbuka dengan sang dosen yang bersangkutan. Cobalah untuk saling “share” dan bercakap dengannya. Jikalau memungkinkan, mintalah nasehat pada dosen yang bersangkutan tentang baik atau tidaknya sesuatu yang akan mahamahasiswa lakukan. Sebagian besar dosen akan senang bila ada mahamahasiswanya yang mau berbicara secara terbuka dengannya. Dan jika telah bisa bercakap dengannya, jangan lupa untuk memperhatikan apa yang disampaikan oleh dosen tersebut.
Ada dua hal sederhana yang tidak ada salahnya untuk dipertimbangkan. Pertama adalah menyadari bahwa setiap manusia adalah berbeda, dan kedua bahwa dosen juga manusia. Dengan menyadari dua hal ini, mahasiswa akan dapat memaklumi dan toleran terhadap sikap dosen yang mungkin akan bersikap diluar dari yang dibayangkan mahasiswa sebelumnya. Misalkan saja pada kasus seorang mahasiswa yang menelepon seorang dosennya untuk menanyakan suatu hal yang berkaitan dengan pelajaran disekolah. Memang tidak ada salahnya menghubungi dosen (dalam hal ini sebagai manusia) melalui telepon. Apalagi mahasiswa telah mempertimbangkan waktu dalam menelepon dosennya. Lagipula, kalau saja menelepon seseorang dilarang, apa gunanya diciptakan telepon? Namun, tidak jarang dosen yang merasa terganggu bila ada mahasiswa menghubunginya melalui telepon. Bahkan jangan kaget kalau nantinya ada mahasiswa yang didamprat habis-habisan oleh dosen yang bersangkutan karena meneleponnya. Ada yang beranggapan bahwa hal tersebut  kurang sopan. Ada pula yang beralasan bahwa bila urusan sekolah, sudah semestinya diselesaikan disekolah dan tidak sampai dibawa kedalam lingkungan keluarganya. Namun belakangan nei, udah jarang dijumpai dosen yang ndamprat mahasiswa yang menelponnya.
Dengan menyadari bahwa dosen juga manusia yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda, akan membantu mahasiswa tersebut untuk memaklumi sikap yang ditunjukkan oleh dosennya.  Dengan demikian, kecil kemungkinan mahasiswa akan menganggap dosen tersebut kejam, jahat, atau anggapan-anggapan lain yang cenderung bersifat negatif.
Sangatlah merugikan bila mahasiswa memiliki anggapan yang negatif terhadap dosennya sendiri. Anggapan ini akan membawa mahasiswa membenci dosen yang bersangkutan. Bagaimanapun juga, tidaklah etis bila mahasiswa membenci dosennya sendiri. Dosen merupakan orang yang membangkitkan dan mentransfer ilmu pengetahuan kepada mahasiswa. Dosen menjadi narasumber tempat mahasiswa bertanya, dan dosen pula yang akan memberikan ujian yang selanjutnya akan memberikan nilai.
Bila seorang pelajar kurang menyenangi dosen tertentu, maka dia akan malas untuk mempelajari pelajaran yang diajarkan oleh dosen yang tersebut. Jika sudah malas belajar maka “kiamat” bagi pelajar yang bersangkutan. Sebaliknya, jika pelajar menyukai dosen atau setidaknya berprasangka baik terhadapnya, maka ia akan termotivasi untuk mempelajari matakuliah yang diampu oleh dosen tersebut secara sungguh-sungguh. Kalau sudah demikian, insyaAlloh... prestasi belajar akan baik dan memuaskan.

0 komentar: