Rabu, 04 Mei 2011

Mesum dan Guru Cowok

gak jadi guru lagi dah kalo kayak gini...
 
Sebagai seorang yang (sepertinya) kecenderungan mindset-nya berkutat dengan dunia pendidikan, maka segala hal yang berbau pendidikan walau sekecil buah dzarrah pun akan menjadi menarik untuk saya dengar. Begitu pula yang terjadi beberapa hari yang lalu ketika saya berreuni super kecil-kecilan bersama teman masa MTs saya, bundo Feny dan Budhe Anis. Dan setelah berputar kesono-kemari, tibalah dominasi obrolan geje kami pada sebuah topik tentang gossip di sekolah mereka (daku tidak bersama mereka lagi karena kami berada di SMA yang berbeda) yang sebenernya telah menjadi cerita usang dengan kadar expired ± 5 tahun. Yang kami obrolkan adalah cerita tentang perbuatan mesum guru cowok terhadap muridnya. ==> saya dan mereka nei bukan nge-gosiip lhoh.
Saya tidak akan ambil pusing tentang kebenaran omongan itu. 
Bagi saya obrolan nei telah menjadi wacana tersendiri dari sisi lain kehidupan seorang guru. Apalagi, yang menjadi objek obrolan kami adalah seorang guru yang berjenis kelamin cowok ==> sama seperti saya (sama-sama cowok, tapi dia saja yang punya kata mesum dalam perbendaharaan kata di kehidupannya).
Herran sayya… emang ada apa sih dengan si guru cowok? Selama saya mendengar berita tentang tindakan mesum guru, pasti guru tersebut adalah berjenis kelamin jantan. Walaupun saya pernah juga ikut menangani kasus hubungan guru cewek ma murid cowok, tapi hal itu belum cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa “kebanyakan guru yang mesum adalah guru cewek”.  Lagi pula kasus yang pernah melibatkan saya untuk menangani itu adalah bukan kasus mesum, tapi hanyalah hubungan percintaan biasa.
Nah, berkenaan dengan kata “mesum”, maka semua pasti sepakat bahwa segala konteks yang mengarah pada kata tersebut merupakan hal yang bukan hanya tabu lagi, melainkan sudah menjadi sebuah hal yang tak etis. Dan ketika sebuah kata “mesum” muncul dalam dunia pendidikan, kemudian menjadi sorotan yang mempertaruhkan kredibilitas segala unsur kemuliaan pendidikan, saya pun bertanya2, manakah yang patut disalahkan? Si siswi, si guru, ato bahkan ortu??
Setelah berfikir sedemikian rupa dengan melakukan refleksi terhadap saya pribadi pada pengalamn mengajar saya selama ini (*walaupun pengalaman ntuh ndak sebanyak anda pembaca…), maka sepertinya saya akan mengatakan bahwa ruang antara profesionlitas seorang guru cowok dalam mengajar dan mendidik siswa dengan ruang tabu berbalut kata mesum hanyalah dibatasi dengan sebuah dinding pembatas yang kuat tidaknya dinding pembatas tersebut ditentukan dari kemampuan dan kesadaran seorang guru cowok untuk membedakan ruang-ruang tersebut (kalimat saya sangat panjang…. Hihihi… terlepas dari unsur ambigu yang mungkin terkandung didalamnya, tapi nei kalimat masih grammatical lhooh….). Artinya, ketika seorang guru menyadari mengenai tugas dan wewenangnya serta faham benar dengan apa yang dia lakukan, insyaAllah dia gak akan terjebak dalam kasus mesum. Namun ini bukan berarti jika ada kasus mesum yang muncul dalam dunia pendidikan, maka kita dengan serta merta men-judge bahwa hanya si gurulah yang salah. Kita juga turut mempertimbangkan presentase peran si siswi dalam kemunculan kasus permesuman tersebut. Misalkan, bagaimana siswi berbusana selama nei, bersikap pada guru, dan sebagainya. Sekarang banyak lhoh, siswi yang sok akrab dengan guru cowoknya hingga seolah2 tidak ada batas antara guru dan teman. Satu sisi mang baik, tapi satu sisi juga membahayakan. Dan menelaah kasus mesum yang terjadi juga perlu mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan orang tua. Apakah orang tua cukup protektif selama ini pada anaknya ato tidak??  Cukupkah kasih sayang yang diberikan orang tua pada anakanya sehingga si anak tak mencari kasih sayang lagi diluar diri mereka?? Semua patu dijadikan pertimbangan.
Guru yang melakukan perbuatan mesum merupakan guru yang tidak faham benar tentang profesinya sebagai pengajar dan pendidik. Memang perlu disadari pula bahwa seorang guru juga merupakan manusia yang memiliki setiap aspek kemanusiaan yang terkandung dalam dirinya, termasuk unsur “keindahan”. Misal, dalam takaran tertentu seorang guru dapat dibenarkan bila dia berkata, “si Inem adalah murid yang cantik”. Namun akan menjadi hal yang bermakna lain bila guru tersebut mengatakan “Si Inem ntuh cantik dan sepertinya cocok bila bersanding bersama saya” atau bahkan “Si Inem ntuh murid yang seksi dan bahenol…dst.” Nah, aspek kemanusiaan yang memunculkan perkataan inilah yang seharusnya ditekan untuk tidak dimunculkan oleh seorang guru. Karena dari sisnilah kasus mesum itu muncul. Perkataan yang diucapkan guru nei akan memunculkan sebuah pencitraan bahwa si guru cowok serasi dengan si siswi. Dari pencitraan itu kemudian muncul interaksi yang berlebihan. Dan dari interaksi yang berlebihan itu kemudian memunculkan segala factor yang mengarahkan pada perbuatan mesum guru. Dan sebagai guru cowok, hal ini sangat mungkin menimpa anda. Berhatilah-hatilah.    
Akhirnya saya hanya berdo’a agar saya dan semua guru tidak sampai tersangkut sebuah cerita seperti gossip di sekolah teman2 saya. Sungguh gossip ntuh cerita yang sangat memalukan.

0 komentar: