Sabtu, 04 Agustus 2012

Ketika Guru Dilaporin oleh Ortu

guru ato ortu yang berhak pukul anak?
Beberapa waktu yang lalu saya mendengar cerita tentang kekerasan terhadap anak didik yang dilakukan oleh guru. Dengan alasan menjaga nama baiknya, saya hanya bisa katakan bahwa peristiwa ini terjadi di dekat lingkungan tempat tinggal saya. Kasus kekerasan ini telah masuk dalam ranah hukum dan saya pribadi sangat miris mendengarnya. Bukan miris karena macam kekerasan guru terhadap anak didik yang berupa cubitan maut sehingga (katanya) menyebabkan lebam dibeberapa bagian tubuh anak didik, tapi saya miris karena merasa prihatin bahwa kasus ini sampai masuk dalam ranah hukum.

Saya lebih menempatkan rasa miris yang saya miliki pada proses hukum yang terjadi ketimbang luka lebam oleh karena cubitan maut. Bukanlah berarti saya setuju mutlak dengan adanya kekerasan dalam pendidikan, bahkan sama sekali saya tidak memprioritaskannya[1]. Kekerasan dalam mendidik bisa jadi diperlukan, tapi bukan sebagai pilihan yang pertama dan utama. Saya hanya memaklumi sikap dari kedua belah pihak, baik guru yang sepertinya keterlaluan maupun orang tua si murid yang mengadukan kasus ini ke ranah hukum. Keduanya memiliki argumentasi masing-masing yang mungkin membuat kita sebagai penonton merasa prihatin.

Sang guru boleh jadi telah mencapai puncak kesabaran ketika memperlakukan si murid sehingga dia memberikan cubitan maut. Di sisi lain, walaupun terkesan lebbay, sang orang tua sepertinya sudah kadung sayang pada sang buah hati sehingga mengharamkan segala bentuk perlakuan kekerasan sebagai respon terhadap apapun yang dilakukan oleh anaknya tersebut. Saya secara pribadi bisa memaklumi keduanya karena memang inilah fakta yang acapkali ditemui di lapangan.

Saya adalah seorang yang belum lama kecemplung di dunia pendidikan. Saya akui sulit rasanya bagi saya mengingkari bahwa beberapa siswa yang saya hadapi adalah mengesalkan. Mereka bisa dikatakan susah diatur dengan sikap mereka yang acapkali memunculkan sikap arogan, tiada memperhatikan keterangan sebagai seorang yang belajar padahal mereka belum pintar, menyela dengan waktu yang tidak tepat bahkan dengan kandungan selaan yang hambar dan sepat, dan lain-lain yang sungguh menempa kesabaran saya. Namun demikian, Saya pun menyadari bahwa tidak hanya saya saja yang mengalami hal ini. Hampir seluruh guru merasakan hal yang sama dengan anak didik mereka masing-masing.

Menjadi seorang guru sepertinya bukan perkara yang mudah. Sama halnya dengan profesi lainnya, profesi mendidik dan mengajar memiliki kesulitan tersendiri dan membutuhkan seni tersendiri pula untuk mengatasi kesulitan unik yang dihadapi. Pengalaman akan banyak mengajarkan pada penampuk profesi tentang bagaimana menjalankan tugas yang diemban. Sepertinya, sang guru pencubit maut tak miliki banyak jam terbang yang menempanya. Dan benar, sama halnya dengan saya, sang guru masih dibilang ranum rasa asin garam pendidikan dengan usia yang masih berkisar dua puluhan.

Bolehlah sang guru berargumentasi dengan tingkat kenakalan si murid dan tingkat kesabaran yang telah dilakukannya sampai akhirnya dia melakukan tindak cubitan maut. Namun permasalahannya adalah seberapa nakal si manusia yang masih murid belia itu dan seberapa tinggi sih standard kesabaran yang sang guru miliki sehingga kasusnya sampai mblusak-mblusukprocedural error yang dia lakukan dalam mendidik si anak? Logikanya, bila dia meletakkan prosedur yang baik dalam memperlakukan anak didiknya dan dengan kesabaran yang tinggi, tidak mungkin konsumen (baca: wali murid) dengan mudahnya melaporkan tindak kekerasan guru pada buah hatinya. Tanpa menghormati intensitas dan bentuk penghormatan saya pada sang guru, saya menyangsikan sikap, tingkat kesabaran, atau hal lain yang berkaitan dengan cara dia mendidik. Semoga ini hal ini menjadi pengalaman yang benar-benar memberi pelajaran. ke ranah hukum? Tidakkah dia bisa menyadari lebih dini akan adanya

Sikap si orang tua yang melaporkan ke ranah hukum juga tak bisa saya amini. Sayang anak adalah sebuah kewajiban. Tapi bila berlebay-lebay sampai membawa kasus macam ini hingga ranah hukum, bukanlah pikiran bijak yang dimiliki oleh seorang ayah/ibu. Bukankah dia sendiri yang dahulu menyerahkan anaknya pada sang Guru? Kenapa cara menarik ucapannya dengan cara yang “menyakitkan” seperti ini? apa hanya ini cara berterima kasih yang bisa dia lakukan? seandainya tidak puas, paling parah adalah tetap pada penyelesaian dengan menurunkan ego masing-masing dan cara kekeluargaan. Setidaknya dia harus ingat pada etika ketimuran dalam hal keilmuan. Yakni sebuah etika yang menyebutkan ketinggian penghormatan terhadap sang guru. Terlepas dari macam apa gurunya, tetaplah dia seorang guru yang berhak menerima penghormatan.  

Aaaah, sudahlah. Dengar-dengar masalah ini sudah ditutup. Semoga ini menjadi pelajaran bagi siapa saja. Bagi guru, kita harus lebih bisa menempa cara kita dalam mendidik. Bagi pemilik buah hati, tak usahlah berlebay ria karena bukan anda saja yang tau kelakuan sang anak…. Tapi juga guru-guru mereka. Mari lakukan bersama-sama.


[1] Dalam dalil Islam pun dijelaskan tentang memukul anak yang membangkang dari perintah sholat. Tetapi hal ini boleh dilakukan ketika si anak sudah berumur 10 tahun dan selama tiga tahun sebelumnya secara istiqomah si orang tua menganjurkannya untuk melakukan sholat. Bukankah dalil ini telah mengajarkan pada kita untuk tidak serta merta main kekerasan pada anak? Kalopun sudah terpaksa melakukan pemukulan mendidik, bukankah cerita tentang nabi Ayyub as. yang memukulkan 100 batang lidi secara bersamaan, daripada memukulkannya satu persatu, pada istrinya telah mengajarkan pada kita untuk berlaku lemah lembut, sopan, dan manusiawi bahkan ketika harus melakukan pemukulan?

0 komentar: